Minggu, 25 November 2018

Indie? Lagu Tentang Senja-Senjaan Itu?

Pokok’e indie itu genre lagu yang santai, yang enak didengerin kalau lagi menikmati kopi ditemani langit senja yang sedang melipat diri untuk berganti shift dengan sang malam.
Helaw? Deadsquad juga indie.

Saya pernah dengar percakapan dua orang di suatu konser musiknya Endah n Rhesa—sebenernya nguping, sih.
“Kok di lagu barunya, indie-nya kurang kerasa, ya?”
“Iya, nih, malah kesannya pop gini.”

Bagi sebagian orang—termasuk saya— yang mengerti tentang musik, percakapan di atas lumayan mengganggu. Bukannya sombong atau apa nih ya, tapi sepertinya indie untuk sekarang sudah mengalami pergeseran makna. Kenapa? Karena sekarang indie, bagi sebagian orang, berisi lagu-lagu yang santai, hanya berteman gitar akustik (ya... paling banter bass dan keyboard), membawa “senja-senjaan”, dan cocok untuk menemani secangkir kopi panas.

Padahal, indie kan istilah kerennya dari “usaha sendiri”. Ya, mereka—band dengan label indie—melakukan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari rekaman lagu, pemasaran, sampai jadwal manggung mereka yang urus sendiri. Bukan berarti mereka tidak ada tim, mereka pasti punya tim yang membantu mereka mengurus semua itu.

 Ada beberapa alasan mengapa mereka mengambil jalur indie ketimbang menawarkan diri ke label rekaman besar yang ada di Indonesia. Rata-rata sih alasan mereka adalah “Kami membuat karya dengan kata hati, bukan kata mereka”. Karena label rekaman besar di Indonesia sudah pasti melihat pasar di Indonesia, seperti apa yang diminati masyarakat, apakah masyarakat menyukai lagu dengan unsur “Ho’a ho’e” di dalamnya.

Mereka akan mengarahkan band-band yang di bawah naungan mereka untuk menciptakan lagu sesuai yang masyarakat minati. Tentulah karena itu, band indie ogah masuk ke ruang lingkup label rekaman besar. Ya... walaupun kalau masuk label rekaman besar mereka rekaman gratis (Gak perlu patungan untuk merekam satu buah lagu), sudah ada manajemen yang mengurus tur mereka, dan lain sebagainya.

Tetapi, kembali lagi ke alasan suatu band memilih jalur indie, mereka ogah “menjual” jiwa bermusik mereka. Mereka merasa kebebasan dalam bermusik akan sirna jika masuk label rekaman besar


Kembali lagi kepada indie yang “senja-senjaan”, sudah sepatutnya kalangan yang baru terjun ke dunia per-indie-an harus memahami tulisan di atas. Indie tidak melulu tentang Fourtwnty, Amigdala, Sisir Tanah, Pusakata (nama panggungnya Mas Is), dan Banda Neira. Lha wong Deadsquad aja indie, The S.I.G.I.T, Burgerkill, Jasad, Down for Life, dan lain sebagainya.

Saya sudah survei ke beberapa teman saya di kampus mengenai “Apa sih yang elo ketahui tentang musik Indie?

Saya survei ke beberapa orang—padahal bisa dihitung pakai jari, jari satu tangan pula—, dan jawabannya hampir sama. Seperti yang diutarakan Mbak Keikei:

“Menurut gue sih, Indie itu musiknya santai gitu. Kadang menyayat hati.” Mbak Keikei, 20 tahun.

Sama halnya dengan jawaban Mas Abodo:

Beuhhh... musik Indie itu enak, Boi. Cocok didengerin sambil minum kopi item.Mas Abodo, 19 tahun.
           
            Sudah tugas kalian yang mengerti hakekat indie yang sesungguhnya untuk meluruskan paham-paham yang sudah belok kepada orang-orang yang baru terjun ke dunia per-indie-an. Sebenarnya artian itu cukup kompleks lho kalo dipahami (ya iya lah...)
           
Jangan sampai virus indie yang ke-kopi-kopi-an dan ­ke-senja-senja-an menjamur dan semakin berbelok dari arti yang sesungguhnya. Kan awkward juga kalo sampeyan dengerin lagu Seringai, terus ditanya orang:

Lu dengerin lagu apa, sih?”
“Ini lagu dari band indie, nih,”
“Indie apaan? Gak cocok buat nemenin ngopi,”
“Cocoknya buat moshing terus nonjok sampeyan.”

            Sudah, ya. Saya mau menikmati lagu-lagunya Endah n’ Rhesa ditemani secangkir  kopi panas, santai tanpa batas~
Share: