Pokok’e indie itu
genre lagu yang santai, yang enak didengerin kalau lagi menikmati kopi ditemani
langit senja yang sedang melipat diri untuk berganti shift dengan sang malam.
Helaw? Deadsquad juga indie.
Saya
pernah dengar percakapan dua orang di suatu konser musiknya Endah n
Rhesa—sebenernya nguping, sih.
“Kok
di lagu barunya, indie-nya kurang kerasa, ya?”
“Iya, nih, malah kesannya pop gini.”
Bagi
sebagian orang—termasuk saya— yang mengerti tentang musik, percakapan di atas
lumayan mengganggu. Bukannya sombong atau apa nih ya, tapi sepertinya indie untuk sekarang sudah mengalami
pergeseran makna. Kenapa? Karena sekarang indie,
bagi sebagian orang, berisi lagu-lagu yang santai, hanya berteman gitar
akustik (ya... paling banter bass dan keyboard), membawa “senja-senjaan”, dan
cocok untuk menemani secangkir kopi panas.
Padahal,
indie kan istilah kerennya dari
“usaha sendiri”. Ya, mereka—band dengan label indie—melakukan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari rekaman lagu,
pemasaran, sampai jadwal manggung mereka yang urus sendiri. Bukan berarti
mereka tidak ada tim, mereka pasti punya tim yang membantu mereka mengurus
semua itu.
Ada beberapa alasan mengapa mereka mengambil
jalur indie ketimbang menawarkan diri ke label rekaman besar yang ada di
Indonesia. Rata-rata sih alasan mereka adalah “Kami membuat karya dengan kata
hati, bukan kata mereka”. Karena label rekaman besar di Indonesia sudah pasti
melihat pasar di Indonesia, seperti apa yang diminati masyarakat, apakah
masyarakat menyukai lagu dengan unsur “Ho’a
ho’e” di dalamnya.
Mereka
akan mengarahkan band-band yang di bawah naungan mereka untuk menciptakan lagu
sesuai yang masyarakat minati. Tentulah karena itu, band indie ogah masuk ke ruang lingkup label rekaman besar. Ya...
walaupun kalau masuk label rekaman besar mereka rekaman gratis (Gak perlu
patungan untuk merekam satu buah lagu), sudah ada manajemen yang mengurus tur
mereka, dan lain sebagainya.
Tetapi,
kembali lagi ke alasan suatu band memilih jalur indie, mereka ogah “menjual” jiwa bermusik mereka. Mereka merasa
kebebasan dalam bermusik akan sirna jika masuk label rekaman besar
Kembali
lagi kepada indie yang
“senja-senjaan”, sudah sepatutnya kalangan yang baru terjun ke dunia per-indie-an harus memahami tulisan di
atas. Indie tidak melulu tentang
Fourtwnty, Amigdala, Sisir Tanah, Pusakata (nama panggungnya Mas Is), dan Banda
Neira. Lha wong Deadsquad aja indie, The S.I.G.I.T, Burgerkill, Jasad,
Down for Life, dan lain sebagainya.
Saya
sudah survei ke beberapa teman saya di kampus mengenai “Apa sih yang elo
ketahui tentang musik Indie?”
Saya
survei ke beberapa orang—padahal bisa dihitung pakai jari, jari satu tangan
pula—, dan jawabannya hampir sama. Seperti yang diutarakan Mbak Keikei:
“Menurut
gue sih, Indie itu musiknya santai
gitu. Kadang menyayat hati.” Mbak Keikei,
20 tahun.
Sama
halnya dengan jawaban Mas Abodo:
“Beuhhh... musik Indie itu enak, Boi. Cocok didengerin sambil minum kopi item.” Mas Abodo, 19 tahun.
“Beuhhh... musik Indie itu enak, Boi. Cocok didengerin sambil minum kopi item.” Mas Abodo, 19 tahun.
Sudah tugas kalian yang mengerti
hakekat indie yang sesungguhnya untuk
meluruskan paham-paham yang sudah belok kepada orang-orang yang baru terjun ke
dunia per-indie-an. Sebenarnya artian
itu cukup kompleks lho kalo dipahami (ya iya lah...)
Jangan sampai virus indie yang ke-kopi-kopi-an dan ke-senja-senja-an
menjamur dan semakin berbelok dari arti yang sesungguhnya. Kan awkward juga kalo sampeyan dengerin lagu Seringai, terus ditanya orang:
“Lu dengerin lagu apa, sih?”
“Ini lagu dari band
indie, nih,”
“Indie apaan? Gak cocok
buat nemenin ngopi,”
“Cocoknya buat
moshing terus nonjok sampeyan.”