Minggu, 06 Oktober 2019

[ULASAN] Apa Yang Direvisi .Feast di Lagu 'Kelelawar'?

Beberapa hari yang lalu, .Feast mengeluarkan (kembali) single ‘Kelelawar’ dengan embel-embel ‘Revisi Final Fix Banget’. Jadi, judulnya berubah menjadi ‘Kelelawar Revisi Final Fix Banget’. Hmm... Cukup menarik, bukan? Mengingatkan fenomena nama file revisi di kalangan mahasiswa atau  para desainer grafis.

Gue berpikir, .Feast mengeluarkan kembali single lama dengan embel-embel ‘Revisi Final Fix Banget’ setelah lagu mereka dikritik oleh alm. Yockie Suryoprayogo dan Guruh Soekarnoputra di video “Taste Test” yang diunggah di kanal Youtube “Sounds From The Corner”. Guruh Soekarnoputra berkata bahwa lagu ini terdengar masih ada yang kurang di bagian mixing dan mastering. Mungkin karena hal itu, .Feast mengeluarkan kembali lagu andalan mereka di album ‘Multiverse’ ini dengan beberapa perubahan menurut kuping gue.

Menurut gue juga, di versi sekarang ini, semua instrumen yang ada di lagu ini direkam ulang (kecuali vokal).

Hal yang pertama berubah adalah drum roll di intro sebelum gitar masuk. Hal ini tidak bisa kalian temukan di versi awal. Drum roll berjalan sekitar satu bar sebelum gitar milik Adnan masuk. Menurut gue, Drum roll di awal cukup bagus untuk membuat adrenalin naik sebelum lagu di mulai.

Kedua, mixing di lagu ini mengalami peningkatan dari versi sebelumnya. Di versi ini, mixing di bagian gitar Adnan dan Dicky punya tempatnya tersendiri dan begitu jelas terasa. Seperti gitar milik Adnan yang terus mengalun di intro berada di sebelah kanan. Sedangkan, gitar milik Dicky yang dipakai sebagai fill lagu berada di sebelah kiri kuping kalian (Jika earphone atau speaker kalian staging-­nya luas)

Ketiga, nah... ini nih yang paling mencolok dari versi sebelumnya. Vokal dari Karaeng Adjie (Vokalis Polka Wars) yang ikut andil dalam lagu ini terdengar begitu jelas keberadaannya. Karena pada versi sebelumnya, suara Karaeng Adjie dengan Baskara Putra (Vokalis .Feast) terasa tidak ada bedanya.  Di versi ini, sudah mulai terdengar keberadaan suara dari Karaeng Adjie. Apalagi pada saat di bagian akhir lagu.

Dari sekian ulasan, bisa diambil kesimpulan bahwa lagu ini di-“revisi” pada bagian teknis atau bagian proses penyempurnaan lagu (mixing  dan mastering). Jika bermain persentase, 90% bagian teknis, 10% bagian aransemen. Kenapa aransemen? Pertama, di intro lagu. Di versi sebelumnya, tidak ada drum roll. Kedua, di akhir lagu, hanya bass, drum, dan vokal Karaeng Adjie yang terdengar. Sisanya berhenti bermain.

Glosarium:

 Mixing: Menyelaraskan semua instrumen dalam proses rekaman agar semua instrumen menyatu dengan sempurna

Mastering: Proses akhir dalam proses rekaman. Bertujuan agar musik yang dihasilkan punya “warna” dan “taste

Drum Roll: Pukulan pada snare drum secara berturut-turut. Seperti pada marching band atau lebih mirip suara senjata AK-47

Fill: Mengisi kekosongan notasi pada lagu atau menambahkan saat notasi tidak kosong dengan tujuan sebagai pemanis dalam lagu

Staging: Istilah di dunia audio. Jika kalian mempunyai earphone atau speaker dengan staging luas, kalian bisa mendengarkan secara luas instrumen dalam lagu (tidak menumpuk di tengah)

Share:

Senin, 19 Agustus 2019

DU68: Surga Bagi Para Pecinta Rilisan Musik Klasik

Beberapa bulan kemarin, gue pergi ke Bandung dalam rangka ingin menyaksikan secara live Mbak Vira Talisa manggung di sebuah universitas pendidikan paling terkenal di Bandung. 

Sesaat sampai di Bandung, gue punya satu permintaan ke temen gue yang nge-kost dan kuliah di Bandung, “Anterin gue ke Dipati Ukur, ke DU 68”. Gue tahu tempat itu sudah lama, tapi baru kesampaian saat itu. 

DU 68 adalah sebuah toko kaset atau piringan hitam yang ada di Dipati Ukur. Tempatnya kecil sih, karena berada di lantai dua kios seberang SPBU bernomor '68'. Itulah kenapa namanya DU 68. Kalau kalian sudah berada di depan toko, gue bakal jamin kepala kalian bakal naik-turun menyusuri rak-rak yang berisi kaset-kaset baik dari tahun 70-an sampai tahun 2000-an. Ada juga rak khusus piringan hitam untuk band-band baru, untuk piringan hitam rata-rata ada di wadah yang diletakkan di lantai.

Source: Google.com
Foto pribadi ada di HP. Males pindahin. Hehehehe.

 

Gue sendiri agak kewalahan mencari kaset incaran: 'The Masterplan' milik Oasis dan 'Untitled' milik Skid Row. Tapi untungnya, sang pemilik toko membantu gue dalam pencarian kaset tersebut.

Mas Vickry namanya. Hampir mirip nama gue. Dia sudah mengoleksi kaset-kaset tersebut dari sejak dia kecil (Oh iya, gue lupa bilang kalau semua kaset di sana adalah koleksi pribadi yang dijual). Pengetahuannya tentang musik juga membuat gue geleng-geleng kepala, jadi gue di sana lumayan ngobrol cukup lama tentang musik. Karena dia, gue jadi tahu kalau musik pop Indonesia di tahun 80-an ter-influence oleh musik pop Jepang di tahun yang sama. Jadi, saat gue pulang ke Karawang, gue mengantongi nama-nama musisi pop Jepang tahun 80-an: Anri, Junko Ohashi, Tatsuro Yamashita, Mariya Takeuchi, dll.

Sound system di sana pun gak main-main. Dari tapedeck, amplifier, speaker, sampai pemutar piringan hitam yang gue tahu harganya bukan kaleng-kaleng. Karena hal itu juga, gw jadi betah berlama-lama di sana (Karena sang pemilik selalu memutar lagu baik dari kaset maupun piringan hitam)

Jadi, setiap ke Bandung, gue selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi DU 68. Entah untuk beli kaset, ataupun iseng mendengarkan musik dari piringan hitam dengan sound system yang wah.
Share:

Minggu, 23 Juni 2019

Musik Elektronik Yang Menghentak Dari Mantra Vutura Dalam EP 'Solar Labyrinth'

Awal gue tau Mantra Vutura ketika .Feast berada di Shoebox untuk tampil live. Salah satu personil Mantra Vutura; Tristan Juliano, membantu mengisi keys untuk .Feast. Dalam lagu 'Minggir' milik .Feast, Tristan Juliano melakukan solo keyboard-nya.

Ada yang bikin gue terpukau dalam solo keyboard milik Tristan. Ya. Sound keyboard-nya mengingatkan gue akan Daft Punk, duo elektronik asal Prancis. Gue sampai mengulang bagian solo hanya untuk memastikan kalau gue gak salah dengar. Ternyata memang sound-nya mirip dengan synthesizer yang biasa dipakai Daft Punk dalam album-albumnya.

Lalu apa hubungannya EP ini dengan Daft Punk? Hmmm... Mari kita bahas.

Sebenarnya gak ada sih hubungannya. HAHAHAHAHA.

Mari kita bahas dari segi musik aja ya. Di EP ini, ada total lima lagu. Dari lima lagu ini mempunyai "cita rasa" yang sama. Bisa gue bilang musik-musik di EP ini merujuk ke house music. Beberapa temen gue bilang "Ini musik cocoknya buat scoring film. Yaaa... Gue bisa menyetujui hal itu. Musik yang terasa ada orkestra, (Oh iya, Tristan Juliano ini anak dari Addie MS dan Memes, dan juga adik dari Kevin Aprillio. Itu lho yang selalu nge-tweet 'mandi biar seksi') adanya tambahan perkusi bikin musik jadi punya warna beda dan terasa ethnic. Dari trek pertama, gue udah merasakan "gelap" dalam musik-musiknya. Bassline dan kick drum yang bikin kepala goyang. Sumpah. Gue ngetik ini yang gerak gak cuma jari, tapi kepala juga ikut gerak.

Dari trek awal sampai terakhir gue sangat... sangat... menikmati. Cocok buat menemani santai sore.

Sedikit curhat, mendengarkan album ini membuat gue nostalgia ke masa-masa SMK kelas 2. Saat itu gue suka dengerin musik-musiknya Daft Punk dan ngulik aplikasi FL Studio. Gue mencoba membuat musik seperti Daft Punk. Hampir ada 9 lagu kalau gak salah, dan udah gue upload di Soundcloud waktu itu. Sekarang udah gak bisa kalian dengar, soalnya trek-trek itu udah gue private. Hahahaha. Ada beberapa alasan trek-trek itu tidak dipublikasikan. Tapi paling utama adalah: Malu.

Trek yang gue buat dulu masih kasar. Gue belum paham sama sekali tentang mixing dan mastering yang membuat musik-musik yang gue bikin waktu itu masih sangat kasar. Sayangnya, file project musik-musik itu sudah hilang~ Jadi gue gak bisa memperbaiki dari segi aransemen dan kualitas.

Segitu dulu ya. Bingung soalnya mau bahas apa.

Dadah~
Share:

Minggu, 25 November 2018

Indie? Lagu Tentang Senja-Senjaan Itu?

Pokok’e indie itu genre lagu yang santai, yang enak didengerin kalau lagi menikmati kopi ditemani langit senja yang sedang melipat diri untuk berganti shift dengan sang malam.
Helaw? Deadsquad juga indie.

Saya pernah dengar percakapan dua orang di suatu konser musiknya Endah n Rhesa—sebenernya nguping, sih.
“Kok di lagu barunya, indie-nya kurang kerasa, ya?”
“Iya, nih, malah kesannya pop gini.”

Bagi sebagian orang—termasuk saya— yang mengerti tentang musik, percakapan di atas lumayan mengganggu. Bukannya sombong atau apa nih ya, tapi sepertinya indie untuk sekarang sudah mengalami pergeseran makna. Kenapa? Karena sekarang indie, bagi sebagian orang, berisi lagu-lagu yang santai, hanya berteman gitar akustik (ya... paling banter bass dan keyboard), membawa “senja-senjaan”, dan cocok untuk menemani secangkir kopi panas.

Padahal, indie kan istilah kerennya dari “usaha sendiri”. Ya, mereka—band dengan label indie—melakukan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari rekaman lagu, pemasaran, sampai jadwal manggung mereka yang urus sendiri. Bukan berarti mereka tidak ada tim, mereka pasti punya tim yang membantu mereka mengurus semua itu.

 Ada beberapa alasan mengapa mereka mengambil jalur indie ketimbang menawarkan diri ke label rekaman besar yang ada di Indonesia. Rata-rata sih alasan mereka adalah “Kami membuat karya dengan kata hati, bukan kata mereka”. Karena label rekaman besar di Indonesia sudah pasti melihat pasar di Indonesia, seperti apa yang diminati masyarakat, apakah masyarakat menyukai lagu dengan unsur “Ho’a ho’e” di dalamnya.

Mereka akan mengarahkan band-band yang di bawah naungan mereka untuk menciptakan lagu sesuai yang masyarakat minati. Tentulah karena itu, band indie ogah masuk ke ruang lingkup label rekaman besar. Ya... walaupun kalau masuk label rekaman besar mereka rekaman gratis (Gak perlu patungan untuk merekam satu buah lagu), sudah ada manajemen yang mengurus tur mereka, dan lain sebagainya.

Tetapi, kembali lagi ke alasan suatu band memilih jalur indie, mereka ogah “menjual” jiwa bermusik mereka. Mereka merasa kebebasan dalam bermusik akan sirna jika masuk label rekaman besar


Kembali lagi kepada indie yang “senja-senjaan”, sudah sepatutnya kalangan yang baru terjun ke dunia per-indie-an harus memahami tulisan di atas. Indie tidak melulu tentang Fourtwnty, Amigdala, Sisir Tanah, Pusakata (nama panggungnya Mas Is), dan Banda Neira. Lha wong Deadsquad aja indie, The S.I.G.I.T, Burgerkill, Jasad, Down for Life, dan lain sebagainya.

Saya sudah survei ke beberapa teman saya di kampus mengenai “Apa sih yang elo ketahui tentang musik Indie?

Saya survei ke beberapa orang—padahal bisa dihitung pakai jari, jari satu tangan pula—, dan jawabannya hampir sama. Seperti yang diutarakan Mbak Keikei:

“Menurut gue sih, Indie itu musiknya santai gitu. Kadang menyayat hati.” Mbak Keikei, 20 tahun.

Sama halnya dengan jawaban Mas Abodo:

Beuhhh... musik Indie itu enak, Boi. Cocok didengerin sambil minum kopi item.Mas Abodo, 19 tahun.
           
            Sudah tugas kalian yang mengerti hakekat indie yang sesungguhnya untuk meluruskan paham-paham yang sudah belok kepada orang-orang yang baru terjun ke dunia per-indie-an. Sebenarnya artian itu cukup kompleks lho kalo dipahami (ya iya lah...)
           
Jangan sampai virus indie yang ke-kopi-kopi-an dan ­ke-senja-senja-an menjamur dan semakin berbelok dari arti yang sesungguhnya. Kan awkward juga kalo sampeyan dengerin lagu Seringai, terus ditanya orang:

Lu dengerin lagu apa, sih?”
“Ini lagu dari band indie, nih,”
“Indie apaan? Gak cocok buat nemenin ngopi,”
“Cocoknya buat moshing terus nonjok sampeyan.”

            Sudah, ya. Saya mau menikmati lagu-lagunya Endah n’ Rhesa ditemani secangkir  kopi panas, santai tanpa batas~
Share:

Selasa, 08 Mei 2018

Vicky's Mixtape

Vicky’s Mixtape ini gue buat berdasarkan lagu apa yang sering gue dengerin akhir-akhir ini. Bisa buat rekomendasi kalian atau hanya sekedar menambah pengetahuan kalian biar musik kalian gak itu-itu aja.

Penilaian ini bersifat subjektif, ya. Jadi yang menurut gue enak, belum tentu di kuping kalian enak, kembali ke selera masing-masing.

1. Maria Takeuchi - Plastic Love
Lagu paling pertama ada dari Maria Takeuchi. Ini lagu J-Funk yang sering gue putar di youtube. Gue pertama kali denger lagu ini setahun lalu, karena thumbnail dari Mbak Maria Takeuchi ini sering muncul di recommendation beranda Youtube gue. Lagu ini cocok buat menemani belajar karena beat-nya yang santai namun menghentak diiringi vokal lembut dari Maria Takeuchi.

2. Vira Talisa - Janji Wibawa
Yang kedua adalah "Janji Wibawa" milik Vira Talisa. Lagu ini dirilis ke publik seminggu yang lalu. Lagu ini adalah lagu Vira Talisa yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia, karena di EP (atau gue bisa sebut 'mini album') sebelumnya, semua lagunya menggunakan bahasa Inggris. Kalo kalian tau band Mocca, pasti akan bilang kalo suasana di lagu ini mirip lagu-lagu Mocca. Tapi emang beneran, vokal yang adem dari Mbak Vira Talisa serta musiknya yang bernuansa ceria ini layak lo dengerin disaat sore-sore sambil minum Es Kepal Milo (Es Kepal Milo diminum atau dimakan, sih?)

3. My Chemical Romance - I Don't Love You
Sebenernya gue denger lagu ini udah lama, sekitaran kelas 2 SMP. Gue mencoba mendengarkan lagu ini lagi karena gue kangen band ini, karena gue dulu sewaktu SMP mengidolakan band ini. Cocok buat kalian yang sedang patah hati atau dicampakkan oleh sang kekasih. Banyak yang bilang lagu ini mirip dengan "Cinta Ini Membunuhku" milik D'masiv. Tapi, yaaa, coba denger sendiri deh.

4. Monita Tahalea - Memulai Kembali
Ini favorit pisan! Lagu yang bikin kalian merasa tenang. Dengan petikan gitar klasik dicampur dengan suara merdu khas Monita Tahalea buat kalian rileks.

5. Jason Ranti - Lagunya Begini, Nadanya Begitu
Mungkin hanya sedikit siapa itu Jason Ranti, tapi gak ada salahnya kalian denger lagu-lagunya Jason Ranti. Lagu-lagunya memiliki lirik yang menyindir sesuatu yang membuat dia tidak nyaman. Kalau lagu ini semacam tribute untuk Sapardi Djoko Damono. Pokoknya coba dengerin deh.

6 Arctic Monkeys - Red Light Indicate The Doors Are Secured
Album debut Artic Monkeys ini lagu-lagunya enak sih, termasuk lagu ini. Bass nya yang bikin kepala goyang. Sedap pokoknya

7. Duo Kribo - Pelacur Tua
Tua sekali selera saya, ya Allah. Ini gue sering dengerin di kaset pita punya temen gue, ternyata asoy juga lagunya. Rock yang sangat yahud. Disarankan bagi pecinta musik rock untuk mendengarkan lagu ini.

8. Naif - Dimana Aku Disini
Unit kuartet yang didirikan tahun 1995 ini punya banyak lagu yang melekat di hati masyarakat, termasuk lagu ini. Gue sering dengerin ini karena sedang patah hati (yhaaaa). Tapi serius, lagu ini enak banget.

9. Devil Electric - Hypnotica
Band beraliran Doom Metal ini pernah manggung di Indonesia pada Desember 2017 lalu lho. Lagu ini yang membuat gue tambah cinta sama aliran Doom Metal. Musik yang berat dicampur dengan vokal yang lembut.

10. Liam Gallagher - For What It's Worth
Mantan former dari band Oasis ini mengeluarkan album solo nya pada tahun 2017. Lagu yang paling gue suka adalah lagu ini. Berisi tentang sebuah penyesalan yang entah untuk siapa, tapi beberapa orang berspekulasi lagu ini untuk Kakaknya yang juga satu band dengan Liam, Noel Gallagher. Lagunya cocok kok buat bergalau ria.

Itu dia Top 10 untuk saat ini, mungkin kedepannya akan diperbaharui atau akan ada lanjutannya. Terima kasih sudah membaca


cheers
Share:

Jumat, 10 November 2017

Menggali Nostalgia Bersama The GazettE Lewat Album TRACES VOL. 2

Apa ada yang tau band The GazettE? Kalau ada yang belum tau, gue beritahu secara singkat siapa itu The GazettE.

The GazettE adalah band visual kei rock (nanti bakal gue bahas apa itu visual kei) asal Jepang yang berdiri tahun 2002 dan mengeluarkan album pertamanya tahun 2004.

Segitu aja cukup ya. Balik ke topik utama.

Gue baru tahu kalau ada album "TRACES VOL. 2" baru tadi (sejak tulisan ini ditulis) dan itupun tahu lewat aplikasi streaming lagu saat pengen coba dengerin lagi lagu-lagu dari The GazettE.

Album ini ternyata keluar di bulan Maret 2017 lalu. Berarti sudah cukup lama album ini beredar di pasaran (dasar kudet)

Setelah di cek daftar lagunya, ternyata semua lagunya ber-genre Ballad. Tau Ballad kan? Kalo di Indonesia mungkin "Sendu dan mendayu-dayu". Beberapa track favorit gue yaitu "Cassis" dan "Guren" masuk ke album kompilasi ini.

Yang menariknya di album ini adalah semua lagunya direkam dan di mixing ulang dengan alat yang mereka miliki sekarang. Dan ada pengurangan dan penambahan alat musik di beberapa judul lagu.

Sejujurnya, gue baru dengerin dua lagu diatas, tapi gue langsung merasa kagum dengan album ini karena semua daftar lagu di album ini di rekam ulang. Jadi terlihat keseriusan mereka di album ini.

Contoh ketika lagu "Cassis" di bagian intro, instrumen yang digunakan adalah piano, bukan gitar. Di bagian sebelum interlude lirik yang berbahasa Inggris itu diganti liriknya walaupun tidak semua diganti.

Dengan album ini, fans The GazettE bisa menikmati lagu lama tapi dikemas dengan rasa yang lebih segar dan memanjakan telinga.

Dan terakhir. Jangan kaget kalau kalian searching lagu lain dari band ini yang ternyata tergolong keras, karena memang pada dasarnya band ini ber-genre rock bahkan metal. Tapi silahkan dengarkan lagu "Cassis" yang dijamin bikin terbawa perasaan.

Share:

Rabu, 27 September 2017

Hadirnya Danny Worsnop Di Single Baru Asking Alexandria Yang Berjudul "Into The Fire"

Beberapa hari lalu, Asking Alexandria mengeluarkan single baru yang berjudul "Into The Fire" yang diunggah di kanal Youtube nya setelah sekian lama vakum saat sehabis album The Black rilis bersamaan dengan keluarnya Dennis Shaforostov dari Asking Alexandria (Yak... Namanya emang susah).

Seminggu sebelum lagu ini rilis, banyak tagar #IntoTheFire berseliweran di timeline Twitter gue. Ini membuat gue penasaran apakah maksud dari tagar tersebut.

Saat lagu ini sudah rilis di kanal Youtube resmi Summerian Record, gue langsung menjajal lagu terbaru dari Asking Alexandria tersebut. Jika lo berpikir lagu ini diisi dengan sound gitar yang berat, vokal scream dimana-mana, lo salah besar.

Hanya sedikit vokal scream, sound gitar pun tidak seberat album yang sebelumnya, tapi gue yakin tuning gitar dipakai cukup rendah di kisaran Drop C sampai Drop B, dan di lagu ini menekankan vokal murni sang Frontman yang terasa "menua".

Di bagian Pre-intro lagu ini terasa familiar, mirip seperti lagu The Black yang rilis sebelum lagu ini. Ketika memasuki bagian Intro, gitar dengan tuning rendah dibarengi dengan gebukan drum bikin pengen headbang.

Namun bagian yang paling menarik di lagu ini pasti bagian Breakdown. Vokal scream milik Danny Worsnop yang tidak segahar dulu menghentak bagian breakdown. Gitar, bass, dan drum selaras mengikuti tempo yang pelan namun mematikan.

Seiring berjalannya waktu, semua pasti akan tumbuh dewasa, Asking Alexandria adalah contohnya. Dari awal mereka berpenampilan emo dan musik hardcore nya dulu, kini mereka bertransformasi menjadi pria gondrong dengan badan penuh tato dan musik yang sudah mengikuti zaman namun tetap membawa ciri khas Asking Alexandria.

Bagi yang pengen dengerin lagunya, bisa lihat di bawah

Di Sini

(Gue ngetik ini lewat aplikasi Blooger di Handphone, gue gak tau cara nampilin video dari Youtube)

Share: